Tempurung atau batok kelapa yang selama ini terbuang dan
hanya menjadi limbah ternyata bisa mendatangkan rupiah. Dengan mengolahnya
dengan beragam produk, misalnya karya kerajinan tangan (handmade) atau
menjadikannya arang. Potensi dan peluang usaha dari arang ini ternyata
menjanjikan, sehingga perajin arang pun banyak. Ini tidak terlepas, karena
arang dari tempurung kelapa ternyata juga merupakan bahan baku untuk beberapa
produk yang berbasis karbon aktif semisal untuk baterai kering dan anti nyamuk.
Adalah Ngatimin, pelaku usaha yang melirik peluang bisnis dari arang ini. Warga Jalan Sani Mutalib, Gang Sukarela, Kecamatan Medan Marelan. Dia sudah menggeluti bisnis arang dari tempurung kelapa lebih dari 15 tahun.
Ngatimin menuturkan, sebelum memproduksi arang ini dia memulainya usaha tersebut dengan memasok bahan baku tempurung ke pabrik di kawasan Kampung Lalang. Aktivitas ini berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Hingga akhirnya, 15 tahun lalu, Ngatimin mulai memasok arang tempurung dengan kapasitas 300 kg. Hal itu disebabkan perbedaan harga yang sangat signifikan antara bahan baku tempurung dengan arang. "Dengan membakar, harganya lebih mahal. Awalnya kita menjual Rp 300 per kilo, sekarang ini sudah mencapai Rp 3 ribu," ujarnya.
Ngatimin menyebutkan, arang-arang yang mereka produksi memiliki dua jenis. Masing-masing miss 26, atau arang yang siap giling, dan siap ayak. Arang yang satu ini, harga jualnya jauh lebih mahal. Sedangkan satu lainnya, jenis cakul (arang yang habis bakar langsung jual tanpa melalui proses pengayakan, harganya lebih murah.
Kemudian, arang-arang ini dipasarkan di kawasan Binjai dan Tanjung Morawa. Untuk proses produksi Ngatimin, melakukannya secara manual. Awalnya, dengan menggunakan drum, namun kini sudah menggunakan tungku tanah. "Sekali pembakaran maksimal hanya 15 kg. Namun sekarang sudah menggunakan tungku tanah, dengan pembakaran sebanyak 6 ton sekali bakar, dan hasilnya sekira 3 ton arang," katanya.
Selanjutnya arang ini digiling dan dijemur kemudian diayak. Awalnya menurut Ngatimin, dia menggiling arang menggunakan mobil. "Kita mengunakan mobil dengan maju dan mundur. Ini untuk pengerjaan satu ton, bisa sampai pagi," ujarnya seraya menambahkan saat ini dia sudah memiliki mesin penggilingan.
Selanjutnya, arang-arang tersebut dikeringkan dengan menggunakan panas matahari. Tahapan ini memakan waktu dua hingga tiga hari. Namun berbeda ketika musim penghujan, yang membutuhkan waktu pengeringan hingga satu minggu.
Seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, menjadi kendala yang dihadapinya. "Kalau musim hujan seperti ini, arang hanya bisa dikeluarkan hanya sekali dalam seminggu dengan kapasitas 1,5 ton. Padahal jika cuaca bagus, dalam satu minggu bisa mencapai 4,5 ton," ujarnya.
Untuk bahan baku, Ngatimin mengaku mendatangkannya dari warung-warung langganannya yang tersebar di berbagai titik di kota Medan. Bahkan ada juga yang didatangkan dari daerah lainnya, seperti Tanjung Balai. Kedepan Ngatimin memiliki impian ingin memperluas pemasaran serta kapasitas produksi.
Adalah Ngatimin, pelaku usaha yang melirik peluang bisnis dari arang ini. Warga Jalan Sani Mutalib, Gang Sukarela, Kecamatan Medan Marelan. Dia sudah menggeluti bisnis arang dari tempurung kelapa lebih dari 15 tahun.
Ngatimin menuturkan, sebelum memproduksi arang ini dia memulainya usaha tersebut dengan memasok bahan baku tempurung ke pabrik di kawasan Kampung Lalang. Aktivitas ini berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Hingga akhirnya, 15 tahun lalu, Ngatimin mulai memasok arang tempurung dengan kapasitas 300 kg. Hal itu disebabkan perbedaan harga yang sangat signifikan antara bahan baku tempurung dengan arang. "Dengan membakar, harganya lebih mahal. Awalnya kita menjual Rp 300 per kilo, sekarang ini sudah mencapai Rp 3 ribu," ujarnya.
Ngatimin menyebutkan, arang-arang yang mereka produksi memiliki dua jenis. Masing-masing miss 26, atau arang yang siap giling, dan siap ayak. Arang yang satu ini, harga jualnya jauh lebih mahal. Sedangkan satu lainnya, jenis cakul (arang yang habis bakar langsung jual tanpa melalui proses pengayakan, harganya lebih murah.
Kemudian, arang-arang ini dipasarkan di kawasan Binjai dan Tanjung Morawa. Untuk proses produksi Ngatimin, melakukannya secara manual. Awalnya, dengan menggunakan drum, namun kini sudah menggunakan tungku tanah. "Sekali pembakaran maksimal hanya 15 kg. Namun sekarang sudah menggunakan tungku tanah, dengan pembakaran sebanyak 6 ton sekali bakar, dan hasilnya sekira 3 ton arang," katanya.
Selanjutnya arang ini digiling dan dijemur kemudian diayak. Awalnya menurut Ngatimin, dia menggiling arang menggunakan mobil. "Kita mengunakan mobil dengan maju dan mundur. Ini untuk pengerjaan satu ton, bisa sampai pagi," ujarnya seraya menambahkan saat ini dia sudah memiliki mesin penggilingan.
Selanjutnya, arang-arang tersebut dikeringkan dengan menggunakan panas matahari. Tahapan ini memakan waktu dua hingga tiga hari. Namun berbeda ketika musim penghujan, yang membutuhkan waktu pengeringan hingga satu minggu.
Seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, menjadi kendala yang dihadapinya. "Kalau musim hujan seperti ini, arang hanya bisa dikeluarkan hanya sekali dalam seminggu dengan kapasitas 1,5 ton. Padahal jika cuaca bagus, dalam satu minggu bisa mencapai 4,5 ton," ujarnya.
Untuk bahan baku, Ngatimin mengaku mendatangkannya dari warung-warung langganannya yang tersebar di berbagai titik di kota Medan. Bahkan ada juga yang didatangkan dari daerah lainnya, seperti Tanjung Balai. Kedepan Ngatimin memiliki impian ingin memperluas pemasaran serta kapasitas produksi.
Sumber : Harian MedanBisnis