Ke depan sesuai kemajuan teknologi, kota tidak lagi menyediakan tempat untuk pertanian tradisional, melainkan pertanian dengan teknologi yang memanfaatkan lahan yang sempit.
SATU dasawarsa lalu, Kecamatan Medan Marelan masih merupakan sentra agribisnis, di mana salah satu potensi utamanya adalah produk sayur-mayur. Saat itu kawasan kecamatan di bagian utara Kota Medan ini merupakan pusat pertanian tanaman pangan terbesar di kota ini, baik dari segi luas lahan maupun jumlah produksi.
Selain tanaman pangan, Marelan juga pusat pengembangan
peternakan, yang terbanyak di sana adalah sapi dan kambing. Di lahan-lahan yang
luas tersebut, para petani umumnya melakukan diversifikasi usaha dengan bertani
dan beternak.
Kini, seiring perkembangan kawasan tersebut sebagai
permukiman yang ramai, sentra agribisnis tadi berangsur tergeser oleh
kapling-kapling perumahan yang dibangun masyarakat maupun pengembang. Walaupun
menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Medan Marelan masih merupakan sentra
agribisnis terbesar di Kota Medan, namun luas lahan saat ini jauh berkurang
dibandingkan sepuluh tahun lalu.
Data BPS tahun 2007, luas areal pertanian di Kecamatan Medan
Marelan 1.608 hektar atau 6,1% dari total luasan daerah Kota Medan. Sementara
secara umum, luas areal pertanian di Kota Medan 7.587 hektar atau telah
berkurang dari luas 7.727 hektar, dari catatan tahun 2004.
Ke depan sesuai kemajuan teknologi, kota tidak lagi
menyediakan tempat untuk pertanian tradisional, melainkan pertanian dengan
teknologi yang memanfaatkan lahan yang sempit. Untuk menunjang itu, tentu akan
didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Ketika menjelajah wilayah Kelurahan Terjun, yang di
Kecamatan Medan Marelan merupakan salahsatu sentra pertanian dan peternakan, diperoleh
informasi, sekitar lima atau enam tahun lalu pemerintah kecamatan setempat ada
memasang plank informasi bahwa kawasan itu merupakan sentra agribisnis.
Letaknya di ujung Jalan A Sani Muthalib Lingkungan I yang posisinya kini persis
di lahan yang bersebelahan dengan kompleks Perumahan Graha Marelan.
“Namun sekarang plank
besar itu tidak ada lagi,” kata Sugiono, seorang petani setempat. Dia tidak
tahu kapan plank itu diturunkan. “Mungkin karena sudah rusak,” ujarnya singkat.
Namun MedanBisnis melihat di sekitar kawasan itu lahan
pertanian semakin sempit. Ada sepetak kebun sayur memanfaatkan kapling yang
belum dibangun di Kompleks Graha Marelan.
Sementara di sebelah timur kompleks itu, hamparan lahan
seluas sekitar 3,5 hektar yang dibiarkan ditumbuhi rumput, dipasangi plank
bertuliskan ‘dijual’. Lalu di sebelah baratnya areal yang lebih luas lagi sudah
dipagari tembok, dan juga dibiarkan kosong.
Menurut informasi, lahan-lahan tersebut memang sudah tak
boleh ditanami lagi karena akan dibangun properti. Petani yang sebelumnya
menanami lahan tersebut, tak bisa berbuat apa-apa karena selama ini mereka
hanya berstatus penggarap.
Agak ke utara, arah Pasar UKA, didapati pula sebuah kompleks
pemukiman yang baru selesai dibangun dan sebelahnya juga sudah berdiri kompleks
sekolah menengah pelayaran. Informasi warga setempat, areal tersebut dulu juga
lahan pertanian.
Jadilah, petani yang masih mau berusaha, berinisiatif
mencari lahan kosong yang belum dibangun pemiliknya, seperti di kompleks Graha
Marelan tadi. Sebagian lagi memanfaatkan lahan di kawasan hijau pinggiran
Sungai Bedera, atau bahkan menyeberang ke sisi lain sungai tersebut dengan
menanami tanah garapan milik perusahaan perkebunan negara.
Pengamat pertanian, Romi Calmaria, mengatakan, kondisi ini
gambaran nasib umumnya petani di perkotaan, yang tidak memiliki lahan sendiri.
“Akibat kondisi ini, di mana banyak lahan pertanian berganti jadi perumahan,
mereka tak bisa berbuat apa-apa dan terpaksa mencari lahan lain untuk digarap,”
ulasnya.
Romi yang juga pengusaha pupuk organik POST dari CV Bina
Tani Sejahtera, mengaku sempat mengamati kondisi pertanian di kawasan Marelan.
“Saya melihat petani mulai terdesak ke pinggir-pinggir, bahkan ada yang di
antara rumah-rumah warga. Kalaupun ada yang bertahan, saya yakin itu karena
mereka pemilik lahan sendiri, namun perkiraan jumlahnya tak banyak,” ucapnya.
Begitupun, dia menilai, perumahan menggusur pertanian
sebagai konsekuensi logis dari pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk yang
membutuhkan tempat tinggal.
“Dampaknya produksi
pertanian di Kota Medan jelas menurun. Tapi suplai kebutuhan untuk pasar-pasar
di kota ini, khususnya sayur-mayur, saya kira masih tercukupi dengan masuknya
produksi daerah di sekitar Kota Medan yang mempunyai sentra tanaman,” ulas Romi.
Untuk peternakan, problemnya jelas lebih kompleks. Selain
harus menghadapi masalah sulitnya mendapat rumput pakan, peternak juga harus
bersinggungan dengan warga yang rumahnya dekat kandang ternak.
“Ya, mau bilang apa
lagi. Awalnya kami tinggal di sini, bertani dan beternak, saat penduduk masih
sedikit. Lha, sekarang tiba-tiba sudah banyak yang membangun rumah. Kami pasrah
saja, kalaupun kandang ternak harus digusur, ya kami cari tempat lain,” kata
Tinik, peternak sapi.
Sumber : Harian MedanBisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar